Sejarah Pesantren
Ar-Raudlatul Hasanah
Pengajian Masyarakat Paya Bundung dan Sekitarnya
Sejak tahun 1970-an, budaya pengajian membahas masalah-masalah keislaman dan pembacaan wirid Yasin mingguan telah menjadi budaya rutin masyarakat Paya Bundung dan sekitarnya. Saat itu, masyarakat yang tinggal di Paya Bundung masih sangat sedikit. Ibadah pun dilakukan di rumah-rumah, tidak terkecuali ibadah yang dilaksanakan secara berjamaah, seperti shalat tarawih dan lain-lain. Pengajian yang sering diselingi dengan acara arisan pun diadakan di rumah-rumah, dengan penceramah yang bergantian. Selain tempat ibadah yang belum tersedia, masyarakat juga perlu tempat untuk pendidikan anak-anaknya, yang saat itu juga belum tersedia.
Dengan kondisi dan kebutuhan akan tempat ibadah untuk menyatukan kebersamaan itu, adalah Bapak H. Ahkam Tarigan yang memulai mewakafkan tanahnya seluas 256,5 m2 pada tahun 1978. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Bapak H. Mahdian Tarigan juga mewakafkan tanahnya seluas 243 m2. Di atas tanah wakaf tersebut kemudian dibangun sebuah mushalla sederhana oleh masyarakat secara gotong-royong, sebagai pusat kegiatan keagamaan masyarakat Paya Bundung dan sekitarnya, juga tempat membina dan mengaji bagi anak-anak mereka.
Begitu besarnya harapan-harapan tersebut, sampai-sampai Bapak H. Ahkam Tarigan selalu optimis bahwa dari mushalla yang kecil ini akan muncul pemimpin-pemimpin handal bagi negara kelak.
Gagasan dan Cita-cita Keluarga Nini Sidua
Keluarga Nini Sidua merupakan keturunan dari H. Muhammad Saleh Tarigan dan H. Ahmad Badawi Tarigan. Mereka berdua adalah orang tua dari anak-anak yang pertama kali memeluk agama Islam, yang kemudian menempati sebuah desa di Tanah Karo yang bernama Simpang Pergendangen. Di desa inilah terdapat sebuah lokasi paya yang diberi nama Paya Bundung. Setelah semua keluarga di desa tersebut menetap dan memeluk agama Islam (sebelumnya mereka belum beragama), keluarga ini kerap bersilaturahim dan berdakwah ke luar desa. Dalam perkembangannya, keluarga ini bercita-cita untuk mendirikan Lembaga Pendidikan Islam. Hal itu selalu menjadi topik pembicaraan dalam pertemuan tahunan yang selalu mereka adakan.
Gagasan itu bukan isapan jempol belaka, tapi selalu diusahakan untuk dapat terwujud secara nyata. Hal itu semakin menemui titik terang tatkala pada tahun 1977 H. Fakhruddin Tarigan mewakafkan tanahnya di jalan Binjai kepada Yayasan Keluarga Dukun Patah Pergendangan, selanjutnya direncanakan pendirian sebuah Perguruan Islam di atasnya. Pada tahun 1981, cita-cita itu hampir terwujud dengan didirikannya sebuah sekolah di atas tanah wakaf tersebut, meskipun belum sempat beroperasi. Dengan berbagai pertimbangan dan masukan tentang tata letak kota dan perkembangan masa depan sekolah tersebut, termasuk dari Bapak Tarzan Ginting yang saat itu bertugas di Medan Barat, maka keluarga berkesimpulan untuk memindahkan tanah wakaf tersebut ke sebuah lokasi di Medan Tuntungan (Km 11.5) yang sudah dikenal dengan nama Paya Bundung. Sebelum dijual, tanah wakaf di jalan Binjai yang semula berwujud rawa-rawa ditimbun oleh keluarga agar harga jualnya meningkat. Pada tahun 1981 tanah tersebut dijual. Hasil penjualannya dibelikan tanah seluas 3.933 m2 di Paya Bundung sebagai ganti wakaf yang ada di jalan Binjai. Tanah wakaf yang baru ini disatukan dengan tanah wakaf dari H. Ahkam Tarigan dan H. Mahdian Tarigan, sehingga luasnya menjadi ± 4.432,5 m2.
Setelah itu, pertemuan tahunan keluarga ini selalu diadakan di Paya Bundung. Gayung pun bersambut, antara kebutuhan masyarakat Paya Bundung akan tempat pendidikan dan pengajian, dengan cita-cita keluarga Nini si Dua dalam mendirikan Lembaga Pendidikan Islam.
Kedatangan Ustadz Usman Husni
Setelah lulus nyantri di Pondok Modern Gontor Ponorogo pada tahun 1976, Usman Husni yang berasal dari Alas (sebuah daerah di Aceh Tenggara) ingin melanjutkan studinya ke Universitas Madinah. Berbagai usaha telah dilakukan, namun jalan seakan buntu. Setelah batal berangkat ke Madinah, Usman Husni pun bercita-cita mendirikan pesantren sebagaimana yang dilakukan oleh saudara-saudaranya.
Keluarga H. Hasan Sekedang (ayah Usman Husni) mempunyai interaksi yang dekat dengan beberapa keluarga dari Tanah Karo sejak tahun 1918 (di masa pengislaman H. Sulaiman Tarigan). Tahun 1926, H. Hasan Sekedang menanamkan nilai-nilai Islam kepada dua pedagang dari Tanah Karo yang kemudian diubah namanya menjadi Hasan Tarigan dan Husin Tarigan. Interaksi ini semakin erat manakala terdapat kesamaan nama dan budaya antara masyarakat Karo dengan masyarakat Alas. Hal ini menjadikan hubungan mereka laksana saudara kandung.
Saat Ust. Usman Husni mulai datang sekitar awal tahun 1981, di Paya Bundung telah berjalan pengajian rutin diantara keluarga. Pengajian tidak terbatas pada kalangan orang tua saja, tapi juga anak-anak kecil dan muda-mudi Paya Bundung dan sekitarnya. Seiring berjalannya waktu, Ust. Usman Husni pun menjadi pembimbing utama (Ustadz) pada pengajian tersebut.
Dengan ikatan kekeluargaan dan interaksi intensif yang panjang, terjadilah diskusi antara masyarakat Paya Bundung dengan Ust. Usman Husni akan keinginan mendirikan Lembaga Pendidikan Islam (pesantren). Ust. Usman Husni bersedia tinggal di Paya Bundung untuk mendirikan dan mengasuh pesantren yang dimaksud dengan syarat tersedia tempat tinggal baginya di Paya Bundung yang bukan tanah wakaf. Maka masyarakat pun bergotong-royong mengumpulkan dana untuk membeli sebidang tanah seluas 250 m2 sebagai upaya untuk menyediakan tempat tinggal Ust. Usman Husni yang ditetapkan menjadi Kyai Pesantren.
Pesantren Tarbiyah Islamiyah Ar-Raudlatul Hasanah Berdiri, 1982
Tanggal 15 Januari 1981, saat pelaksanaan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW bertepatan dengan acara masuk rumah baru kediaman Drs. M. Ilyas Tarigan, Ust. Usman Husni diundang untuk memberikan taushiah yang diantara isinya adalah menyinggung tentang keluarga yang telah mapan secara ekonomi dan intelektual, tapi belum mapan secara pendidikan agama, karena hingga saat itu, di antara keluarga belum ada yang menempuh pendidikan dalam bidang agama. Padahal, sudah banyak pengajian diadakan, bahkan banyak diantara anggota keluarga ini yang berjihad menghidupkan dakwah, mengingat masih banyak keluarga yang belum memeluk agama Islam. Di satu sisi, mereka juga harus telah memikirkan estafet perjuangan ini, yang salah satu cara mempersiapkannya adalah melalui jalur pendidikan.
Masyarakat Paya Bundung dan sekitarnya yang sejak lama berkeinginan mendirikan Lembaga Pendidikan agama pun menyambut dengan antusias. Isi taushiah di atas seakan menjadi dorongan untuk segera mewujudkan lembaga yang dimaksud, sebagaimana yang sudah sering mereka gagas sejak lama. Di sela-sela pengajian khusus yang selalu diadakan di rumah bapak dr. H. Mochtar Tarigan, hal ini selalu didiskusikan. Pembahasan dalam pengajian-pengajian inilah sebenarnya yang menjadi embrio kelahiran ‘Pesantren’. Dari komunikasi dan interaksi intensif di atas, dan setelah mengkaji model dan bentuk Lembaga Pendidikan yang diinginkan, maka disepakati untuk mendirikan Lembaga Pendidikan Islam berbentuk pesantren.
Sebagai follow up dari pertemuan-pertemuan tersebut, diadakanlah pertemuan bulan Maret tahun 1982 di Sibolangit untuk membicarakan model dan nama Pesantren yang diinginkan. Muncullah lebih dari 20 nama Pesantren yang diusulkan. Namun pertemuan tersebut belum menghasilkan nama yang disepakati.
Dalam sebuah pengajian Tafsir di rumah dr. H. Mochtar Tarigan, saat pembahasan ayat 32 dari Surah An-Naba’, pada jilid pertama halaman 16 dalam Tafsir Al-Shâwy disebutkan bahwa maksud dari kata ‘hadâiq’ dalam ayat tersebut adalah ‘Ar-Raudlatul Hasanah’ (taman surga yang indah). Pada saat itu, tercetuslah ide untuk menamai Pesantren ini dengan ‘Ar-Raudlatul Hasanah’, dengan harapan bahwa pesantren wakaf tersebut menjadi taman yang indah bagi para pewakif dan pelajarnya dan bagi semua yang berjihad di dalamnya. Setelah dibahas, masyarakat pun menyetujui nama tersebut.
Setelah melalui proses yang panjang, pada tanggal 18 Oktober 1982, bertepatan dengan peringatan tahun baru Hijriah 1 Muharram 1403 H, dideklarasikanlah pendirian Pesantren Tarbiyah Islamiyah Ar-Raudlatul Hasanah secara resmi.
Pembukaan Pendidikan Sistem Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah, 1986
Madrasah dengan sistem pulang hari yang dijalankan Pesantren berkembang pesat. Muridnya selalu bertambah dari tahun ke tahun, baik secara kuantitas maupun asal daerah mereka. Hal ini tentunya menggembirakan hati para Pengasuh dan Badan Wakaf.
Dengan niat dan tekad yang bulat untuk benar-benar mendirikan pendidikan pesantren secara utuh, pada bulan Juni 1986, dimulailah pendidikan tingkat Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) dengan jenjang pendidikan selama 6 tahun. Namun program madrasah yang tidak mukim juga masih berjalan hingga tahun 1988.
KMI Ar-Raudlatul Hasanah adalah Sekolah Pendidikan Guru Islam yang model dan kurikulumnya diambil dari KMI Pondok Modern Darussalam Gontor, yang merupakan perpaduan antara Sekolah Normal Islam Padang Panjang dengan model pendidikan pondok pesantren di Jawa. Pelajaran agama, seperti yang diajarkan di beberapa pesantren pada umumnya dengan sistem sorogan, diajarkan di kelas-kelas. Pada saat yang sama, para santri/santriwati sudah wajib tinggal di dalam asrama dengan mempertahankan jiwa dan suasana kehidupan pesantren. Pada periode awal, santriwati masih dititipkan pada keluarga Paya Bundung karena tidak adanya tempat. Proses pendidikan berlangsung 24 jam. Pelajaran agama dan umum diberikan secara seimbang dalam jangka 6 tahun. Pendidikan keterampilan, kesenian, olahraga, organisasi dan lain-lain merupakan bagian dari kegiatan kehidupan santri/santriwati di Pesantren.
Pada saat pembukaan, siswa yang mengikuti program KMI ini berjumlah 9 santri yang tinggal di rumah Ust. Usman Husni dan 6 santriwati yang masih dititipkan di rumah masyarakat/keluarga Paya Bundung. Namun dengan kegigihan pengasuhnya, dan dengan datangnya beberapa guru lulusan Pondok Modern Darussalam Gontor, sistem KMI yang diinginkan seperti Gontor pun mulai dapat dijalankan dengan efektif dan baik. Hal ini berpengaruh pada kuantitas dan kualitas santri/santriwati yang selalu meningkat.
Guru-guru pengasuh pertama yang datang dari Pondok Modern Darussalam Gontor membantu Ust. Usman Husni antara lain adalah Syahid Marqum, Basron Sudarmanto, Maghfur Abdul Halim (1985), Norman dan Muhammad Bustomi (1986), Rasyidin Bina, Junaidi, dan Sultoni Trikusuma (1987) dan lain-lain.